Rabu, 03 April 2013

Perjanjian Internasional

Sampai saat ini para ahli masih mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda terhadap makna perjanjian internasional sehingga makna istilah tersebut masih beranekaragam. Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum internasional mengenai istilah perjanjian internasional sebagai berikut:
  • Moehtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa “Perjanjian internasional adalah perjanjian antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang mengakibatkan berlakunya hukum tertentu”.
  • G. Schwarzenherger tnengemukakan bahwa “Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat, baik berbentuk bilateral, maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini bukan hanya lembaga-lembaga internasional, melainkan negara-negara”.
  • Oppenheimer-Lauterpacht mengemukakan bahwa “Perjanjian internasional adalah persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua pihak”.
  • Definisi dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu “Perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya, mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional”.

Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat jelas adanya perbedaan. Namun, pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama. Pengertian pertama dan kedua perjanjian internasional dilakukan oleh seluruh sublek hukum internasional, baik negara maupun lainnya. Pada pengertian ketiga dan keempat hanya negara yang bisa melakukan perjanjian internasional dengan negara-negara lainnya. Berkenaan dengan hal itu, setiap bangsa dan negara yang ikut dalam suatu perjanjian, harus menjunjung tinggi dan menaati seluruh ketentuan yang ditetapkan. Hal tersebut  sudah merupakan kewajiban dan sesuai dengan asas hukum perjanjian yang berbunyi “Janji itu mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt servanda.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya atau ada sebagian negara atau bangsa yang melanggar atau tidak menaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, ketidakdamaian atau ketidakharmonisan akan tercipta, bahkan akan menimbulkan pertentangan di antara negara-negara yang melakukan perjanjian.
Tahap- tahap perjanjian internasional Negara-negara di dunia berpedoman pada Konvensi WINA 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bagi Indonesia selanjutnya diatur dalam Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tahap- tahap perjanjian internasional menurut konvensi WINA 1969 yaitu:
    • Perundingan (Negotiation). Perundingan merupakan janji tahap pertama antar pihak/ antar Negara tentang objek tertentu. Jika belum pernah ada perjanjian yang dibuat oleh subjek yang akan membuat perjanjian, maka terlebih dahulu diadakan penjajakan (survey) atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Dalam melakukan negosiasi, suatu Negara dapat diwakili oleh pejabat Negara dengan surat kuasa penuh (full powers). Negosiasi dapat juga dilakukan oleh kepala Negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri atau duta besar. Jika penjajakan menghasilkan sebuah kesepakatan dan rasa saling percaya, maka proses pembuatan perjanjian internasional memasuki tahap berikutnya, yaitu penandatanganan.
    • Pendatanganan (Signature). Untuk perjanjian yang bersifat bilateral, penandatanganan biasanya dilakukan oleh pera menteri luar negeri atau kepala pemerintahan. Untuk perjanjian yang bersifat multilateral, penandatanganan perjanjian sudah dianggap sah jika 2/3 suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali jika ditentukan lain. Namun demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan setiap Negara, sebelum diratifikasi oleh Negara-negara tersebut.
    • Pengesahan (Ratification). Pengesahan adalah penandatanganan atas perjanjian yang hanya bersifat sementara dan masih harus dikuatkan dengan pengesahan atau penguatan. Ratifikasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan perjanjian internasional. Adanya ratifikasi memberi keyakinan pada lembaga-lembaga perwakilan rakyat bahwa wakil yang menandatangani perjanjian tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan hukum dan tidak merugikan rakyat. Suatu Negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian apabila perjanjian tersebut telah disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Ratifikasi perjanjian Internasional dapat dibedakan sebagai berikut:
    1. Ratifikasi oleh badan eksekutif. Sistem ini biasanya dilakukan oleh raja-raja absolut dan pemerintahan otoriter.
    2. Ratifikasi oleh badan legislatif. Sistem ini jarang digunakan.
    3. Ratifikasi campuran (DPR dan pemerintah). Sistem ini paling banyak dipilih oleh negara-negara di dunia karena peranan legislatif dan eksekutif sama-sama menentukan proses ratifikasi suatu perjanjian.
  • Menurut Undang-Undangnomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tahap-tahap Perjanjian Internasional (proses pembuatan perjanjian Internasional) adalah
    sebagai berikut :
    • Tahap Penjajakan. Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
    • Tahap Perundingan. Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah2 teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
    • Tahap Perumusan Naskah. Merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
    • Tahap Penerimaan. Merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
    • Tahap Penandatanganan. Merupakan tahap akhir da1am perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral,penandantanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak.Keterikatan terhadap perjanjian Internasional (Menurut Pasal 6 Ayat 1).
    • Tahap Pengesahan. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Mekanisme dan prosedur pinjaman dan/atau hibah luar negeri beserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur dengan undang-undang tersendiri (Menurut Pasal 9).

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar